Cari Blog Ini

Minggu, 10 Juni 2012

Krisis Pangan & Energi


Abstrak
Saat ini dunia dihadapkan pada dua krisis besar yaitu krisis pangan dan krisis energi. Krisis pangan dipicu oleh adanya fenomena pemanasan global dan tidak meratanya distribusi. Sedangkan krisis energi dipicu oleh kian menipisnya cadangan energi yang berasal dari bahan bakar fosil (migas dan batubara). Untuk mengatasi krisis terebut, solusi yang bisa dilakukan adalah dengan mengembangkan diversifikasi, baik bahan pangan maupun bahan energi.
Saat ini tanpa kita sadari, sedang berkecamuk perang dahsyat antara energi dan pangan. Krisis energi dan pangan terus menghantui dunia. Bagaimana tidak, banyak orang pintar yang dengan kreatifnya mengatasi krisis energi dengan membuat sumber-sumber energi alternatif yang berbahan baku dari produk pangan. Seperti energi dari kedelai, ubi, singkong, gandum.
Sumber pangan pokok manusia di seantero jagad itu dialihfungsikan menjadi sumber energi alternatif. Dampaknya, tentu saja rawan krisis pangan. Harga pangan melambung akibat kelangkaan.
Satu contoh di Indonesia, Kedelai misalnya, tembus hingga Rp 7.500/kg dari Rp 3.450/kg. Maka jangan heran kalau bangsa ini justru bangga disebut “bangsa tempe” atau dijuluki “bermental tempe”. Karena tempe saat ini termasuk barang mewah. Apalagi bahan bakunya pun impor dari negeri Paman Sam. Dan mahalnya harga kedelai terjadi akibat pengalihan minyak mentah dengan biofuel oleh AS.
Di sisi lain, krisis energi memicu kelangkaan bahan bakar yang banyak dibutuhkan oleh industri pangan. Petani butuh solar untuk traktornya. Nelayan butuh bensin untuk melaut. Pabrik pengolahan makanan butuh ‘pelicin’ agar mesinnya bekerja. Kalau BBM kemudian langka dan mahal, maka produksi pangan pun terseok-seok hingga mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksikan, satu dasawarsa ke depan (2007-2016), bakal terjadi perubahan struktur dasar perdagangan komoditas pertanian secara permanen. Perubahan struktur ini akan mengimbas pada pergeseran pola konsumsi produk pertanian dunia.

PEMBAHASAN
A.          Kondisi Krisis Energi dan Ketahanan Pangan
Semua orang tahu, sumber energi minyak dan gas (migas) yang selama ini digunakan semakin lama semakin habis. Cadangan migas yang terus menipis, seiring dengan konsumsinya yang semakin meningkat menimbulkan kekhawatiran yang serius. Belum lagi efek emisi karbon yang dihasilkannya diduga ikut menaikkan suhu bumi, dan suatu saat mungkin akan menghilangkan daratan yang ada di bumi, tentu bersama kita yang menghuninya.
Karenanya untuk mengatasi krisis energi[1] ini, orang ramai-ramai berusaha mencari energi alternatif yang selain bisa diperbarui juga lebih ramah lingkungan. Maka jangan heran, jika kemudian berbagai negara seakan berlomba menunjukkan hasil inovasi energi terbarunya. Sebagai contoh, biogasoline yang merupakan campuran 10% bioethanol dan 90% gasoline telah digunakan luas di Amerika Serikat. Begitu pula di Brazil, Finlandia, Jepang, Thailand, dan negara-negara lainnya (Sumber: Pertamina.com).
Di Indonesia, biofuel juga telah digunakan sejak tahun 2006. Pertamina dengan kerja kerasnya berhasil meluncurkan produk BioPremium (campuran 95% premium dan 5% bioethanol), Biosolar (campuran 5% Fatty Acid Methyl Ester dan 95% solar reguler), dan BioPertamax.
Di satu sisi, biofuel memiliki nilai positif, seperti krisis energi bisa diminimalkan dan kesehatan lingkungan bisa selalu dipertahankan. Namun jika booming produksi biofuel ini tidak disikapi dengan bijak, maka bisa jadi akan menstimulasi terjadinya krisis pangan di masa depan, dan ini adalah ancaman serius bagi manusia.
Kalau kita perhatikan, sumber bahan bakar terbarukan yang digunakan sebagai campuran bahan bakar reguler seperti bioethanol pada biogasoline, diolah dari bahan baku pangan yang selama ini juga dikonsumsi manusia.
Perubahan iklim juga menggerogoti ketahanan pangan kita sehingga sudah sewajarnyalah kita sesuaikan perkembangan pertanian dengan perubahan iklim. Musim tanam, bibit tanaman, dan pola pertanian perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perubahan iklim[2].
Sumber minyak bumi cenderung menipis, sedangkan persediaan batu bara melimpah sehingga kita cenderung memanfaatkan batu bara untuk pengembangan energi. Namun, dengan semakin gencarnya persyaratan pengendalian CO2e, kita perlu mengembangkan energi terbarukan sebagai alternatif[3].
Ini memerlukan kebijakan harga yang lebih berpihak pada energi terbarukan yang melimpah di Tanah Air kita, seperti sumber geotermal, tenaga mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, tenaga gelombang, tenaga biomassa, demi ketahanan energi kita di masa depan.
Kita perlu selamatkan air untuk memberlanjutkan sekuritas air tawar kita. Ini memerlukan secara sungguh-sungguh dukungan politik dan ketatalaksanaan kepemerintahan pusat-daerah yang efektif dalam menerapkan rencana tata ruang menyelamatkan daerah aliran sungai, mencegah deforestasi, memberantas illegal logging dan pembakaran hutan, demi ketahanan sustainabilitas sumber daya alam tropis kita.
Di atas segala-galanya kita perlu menegakkan ketahanan penduduk kita, terutama penduduk miskin di daerah tertinggal, agar mampu berproduksi menghasilkan kebutuhan pokok manusia, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Tidak boleh terulang peristiwa kelaparan penduduk Yahukimo, Papua, karena kegagalan pertanian. Harus ada ”bantal ketahanan pangan” yang menyelamatkannya[4].
            Sebagai negara agraris Indonesia memang tumbuh dan berkembang dari tumbuh-kembang sektor pertanian. Pertanian tidak pernah bisa dilepaskan dari masalah pangan, karena tugas utama pertanian adalah untuk menyediakan pangan bagi penduduk suatu negara. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, gravitas politik pangan Indonesia selalu berat menuju politik beras. Persoalan ini pada awalnya adalah sangat beralasan karena beras pernah menempati sepertiga belanja rumah tangga buruh di Jakarta pada akhir tahun limapuluhan (Indek Biaya Hidup disingkat IBH Jakarta), dan menempati hampir seperlima PDB Indonesia pada akhir tahun 1960an.
Indonesia pernah dilanda krisis pada tahun 1997-1998 yang bersamaan dengan kegagalan produksi pangan, sehingga melahirkan berbagai keadaan rawan pangan bahkan kurang gizi yang berat. Harga pangan yang melonjak, tetapi lebih diwarnai oleh krisis nilai tukar, ketimbang kegoncangan penawaran pasar dunia. Pelajaran yang menarik adalah kemiskinan yang parah dan meluas pada saat itu menjadi kunci utama rawan pangan, namun sifatnya sangat transitory (World Bank 2003). Krisis sendiri terjadi pada saat ketersediaan pangan Indonesia, telah melewati satu dasawarsa namun kebanyakan orang Indonesia urusan pangan belum selesai[5].
Pada awal tahun 2008 ini kita digoncangkan oleh naiknya harga minyak bumi yang melampaui batas US $100,-/barel yang mendorong ekspansi besar-besaran produksi bio energi. Hal ini telah menimbulkan ketakutan akan semakin sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan, karena adanya persaingan penggunaan biji-bijian untuk energi. Hal yang cukup menarik dari perkembangan terakhir ini adalah justru kenaikan harga beras dan gula pasir di pasar dunia sementara di di dalam negeri kenaikannya  normal saja sekalipun mempunyai kandungan politik tinggi di negeri kita. Di sisi lain harga bahan pangan penghasil lemak dan protein menjadi sangat bergejolak.  Hingga saat ini belum ada yang berani menjamin bahwa krisis finansial global telah berakhir dan krisis energi tidak akan muncul lagi, bahkan kedua faktor tersebut menjadi bagian dari resiko yang setiap saat dapat muncul kembali.

B. Ketahanan Pangan Indonesia: Sepuluh Tahun Pasca Krisis
Ketahanan Pangan dalam perspektif Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, mempunyai beberapa dimensi penting yakni, Ketersediaan, Mutu dan Keamanan Pangan dan pada ujungnya adalah Akses terhadap pangan sehingga setiap rumah tangga terjamin. Perjalanan selama sepuluh tahun terakhir ini, kerangka cara pandang terhadap ketahanan pangan sudah ada landasan baku UU Pangan. Di samping itu perjalanan satu dasawarsa ini adalah Indonesia yang terkena krisis dan kemudian kembali terkena krisis. Dasawarsa ini juga menandai Indonesia yang sudah pernah merasa bebas dari kungkungan kegagalan memenuhi kebutuhan beras penduduk dengan swasembada beras pada tahun 1984 dan kesulitan untuk mempertahankan dalam arti prestasi fisik, konsepsi swasembada dan teknis operasionalnya[6]. Tercatat sampai dengan menjelang krisis Indonesia juga pernah mengimpor kembali kebutuhan beras (Pemerintah), setelah setahun sebelumnya mengekspor karena stok berlimpah.
Salah satu indikator penting untuk melihat kondisi ketahanan pangan suatu negara secara agregat adalah melalui angka rata-rata ketersediaan pangan. Mengingat keragaman pangan adalah merupakan bagian penting dari mutu pangan serta keragaman budaya dan status sosial ekonomi rumah tanggga atau masyarakat, maka terjadi keanekaan pula dalam konsumsi bahan makanan. Oleh karena itu angka ketersediaan biasanya dinyatakan dalam bentuk ketersediaan kalori, protein, lemak dan unsur lain. Namun dalam analisis ini hanya akan dilihat dari ketersediaan kalori dan protein. Angka ketersediaan yang dianggap memenuhi kecukupan bagi kehidupan yang sehat ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi yang terakhir (VIII) dilaksanakan pada tahun 2004. Untuk ketersediaan kalori ditetapkan angka kecukupan sebesar 2.000 kalori/kapita/hari pada tingkat konsumsi atau 2.200kal/kapita/hari pada tingkat ketersediaan. Sementara untuk protein ditetapkan sebesar 55 gram/kapita. Angka ketersediaan rata-rata untuk berbagai sumber karbohidrat, protein, lemak dan vitamin dan mineral menggambarkan bahwa pada tingkat nasional maupun daerah dalam kecukupan.
Dilihat dari angka ketersediaan kalori rata-rata sebenarnya tingkat kecukupan pangan di Indonesia masih cukup bagus. Pada dasawarsa 80an sampai dengan pertengahan 90an ketersediaan kalori sangat tinggi karena tingginya tingkat konsumsi beras, meskipun protein terutama hewani masih belum cukup ketika itu[7]. Gambaran pada periode 2005-2007 menunjukkan perkembangan yang bagus di mana angka ketersediaan kalori masih cukup bagus dengan ketersediaan protein hewani yang cukup baik nabati maupun hewani (Tabel 1). Angka tersebut pada dasarnya memberikan pelajaran baru, bahwa kondisi rawan pangan dalam arti kurang gizi (kalori maupun protein) muncul karena faktor fundamental dari ”food insecurity” yaitu kemiskinan (akses) bukan faktor kekurangan pangan.

C. EKONOMI DUALISTIK DAN KETAHANAN PANGAN
Meskipun pangan sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap hari dalam kenyataannya  pasar produk pangan dan sebagian bahan pangan bergerak melalui dua jalur pasar dan pola permintaan yang berbeda, yakni pasar tradisional dan sistem distribusi modern. Sebenarnya hal ini tidak terlepas dari ciri ekonomi dualistik Indonesia yang dikemukakan Boeke pada abad 19 (Mubyarto 2000). Pada sisi penyediaan bahan pangan pokok beras adalah produk yang penyediaan primernya (padi) menggambarkan corak produksi skala kecil yang melibatkan pengerahan kegiatan produksi masal yang dikomandoi secara pasti oleh perguliran iklim, kecuali sebagian kecil daerah irigasi teknis. Petani tidak berdaya karena alasan likuiditas hingga alasan teknologi yang diperlukan untuk mengatasi faktor alam (cuaca) bukan hanya pada saat tanam tapi saat panen. Kemajuan industri pengolahan ini tidak terlepas dari revolusi hijau yang dimulai akhir 60an dengan pengenalan alat mesin pertanian[8].
Persoalan corak ekonomi dualistik di dalam pertanian (produksi pangan) sendiri telah membawa perbedaan perlakuan dalam banyak hal yang dilakukan oleh Pemerintah di bidang fiskal dan perizinan. Akhir-akhir ini masalah pupuk (bersubsidi maupun tidak bersubsidi) pengenaan PPn atas produk hasil industri pertanian, hingga politik anggaran dan pembinaannyapun menimbulkan kesimpangsiuran. Apalagi pendekatan pembinaan kita menganut target obyek (komoditi) bukan subyek (petani) nya.
Pada industri penghasil protein dan lemak keadaannya sudah jauh lebih jelas lagi, bahwa sektor modern padat modal, baik lokal, nasional maupun multi nasional menentukan arah penyediaan bahan pangan. Masalah kita pada saat ini bukan lagi masalah kecukupan ketersediaan, dalam arti pasar dapat menyelesaikan untuk pemenuhan kecukupan ketersediaan tersebut, tetapi mengarah pada mutu gizi yang memerlukan produksi protein, lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan secara seimbang. Untuk dapat memikirkan suatu politik pangan yang kompatibel dengan tujuan peningkatan mutu gizi pangan dan kesejahteraan petani, faktor struktur pelaku dan struktur pasar masing-masing industri menjadi semakin penting.
Dilihat dari tren pola konsumsi sumber karbohidrat terutama beras yang semakin efisien dengan menyempitnya diskrepansi antara angka ketersediaan dan angka konsumsi menggambarkan bahwa pola konsumsi masyarakat sudah semakin menyesuaikan dengan pola hidup sehat[9].
Tren jangka panjang tekanan beras, kebutuhan jagung untuk mendukung produksi daging, susu dan telur akan meningkat pesat pada saat tingkat pendapatan/kapita berada pada US $ 1.600 – US$ 2.000. Model untuk melihat kebutuhan pangan dari perspektif pemenuhan gizi yang seimbang juga dapat dijadikan acuan perencanaan dan menempatkan kerawanan pangan dalam kontek invidu rumah tangga bukan dalam bilangan agregasi akan mampu mengenali peta persoalan pangan dan segala ke-rawanan-nya menjadi semakin mudah. Cara inilah yang belum banyak dimanfaatkan untuk mengembangkan kebijakan penyediaan.
D. Kompetisi Pangan-Energi, Kaitan Pasar Keuangan
Komoditi pangan sampai dengan saat ini masih dilihat dalam konteks komoditi strategis yang Pemerintah selalu perlu hadir untuk menjamin kondisi ketahanan pangan. Sejak akhir tahun lalu dengan diselenggarakanya Konferensi Dunia tentang Perubahan Iklim, muncul kesadaran baru akan pentingnya sumber energi alternatif yang ramah lingkungan[10]. Semua ini dilakukan untuk mengontrol polusi yang menimbulkan pemanasan global sehingga menghindarkan dunia dari keruntuhan. Dengan berkembangnya industri bioenergi di banyak negara maju dan berkembang, dengan indikasi permintaan produk pertanian sebagai bahan baku bio-etanol dan bio-diesel, maka muncul persaingan penggunaan  pangan untuk pangan dan energi. Bahkan ketika harga pangan sempat naik secara tajam menimbulkan kekhawatiran akan kelangsungan pemenuhan pangan, terutama bagi masyarakat miskin di negara berkembang.
Pangan sekarang ini menyatu dengan pasar energi, secara lebih spesifik minyak bumi. Karena minyak bumi bukan saja menjadi bahan bakar bagi mesin-mesin dan alat pertanian, tetapi juga bahan baku pembuatan bio-diesel dan bio-etanol, sehingga perkembangan harga minyak bumi akan menyeret harga produk-produk pertanian secara langsung[11]. Fluktuasi harga minyak akan secara lebih langsung mempengaruhi harga produk pertanian (bahan pangan), terutama minyak makan dan gula yang langung menjadi pengganti solar dan bensin. Terkait dengan komoditas pangan yang lain, karena sensitifitas pada dua kelompok bahan pangan penghasil minyak/lemak dan gula ini juga mempunyai kaitan langsung dengan  usaha peternakan dan perikanan, sudah barang tentu berpengaruh terhadap penyediaan protein yang langsung mempengruhi mutu pangan penduduk. Dengan demikian sangat jelas mata rantai keterkaitan ini menjadi sangat panjang dan semakin sensitif terhadap pemenuhan kecukupan ketersediaan pangan dalam bentuk jumlah dan mutunya.
Di sisi lain usaha pertanian skala besar seperti perkebunan dan peternakan sudah mulai masuk ke dalam pasar modal sebagai sumber pembiayaan jangka panjang mereka, sehingga  dengan sendirinya akan sangat dipengaruhi oleh keinginan pemegang sahamnya. Mereka akan mengarahkan strategi bisnisnya untuk dapat menghasilkan keuntungan dan dividen yang besar bagi para pemilik modalnya. Ini tidak terkecuali untuk status kepemilikan, negara atau swasta dan asing atau nasional, karena ada mekanisme lain yang mempengaruhi keputusan produksi. Sehingga tarikan ini menjadikan usaha pertanian (perkebunan dan peternakan) juga semakin dipengaruhi oleh pasar keuangan (perbankan dan pasar modal) dan semakin lama akan semakin dalam dengan semakin berkembangnya agro-industri di tanah air kita. Bahkan untuk usaha menengah-kecil sekalipun dianjurkan memanfaatkan pasar modal sebagai instrumen pencarian dana pembiayaan investasi alternatif yang murah bagi pengembangan usahanya. Hal itu dikarenakan masa mengejar modal atau sering dinamakan Capital Chasm, merupakan tahap yang harus dilalui oleh setiap industri dalam membiayai pengembangan usahanya apakah memilih pembiayaan perbankan yang mahal atau keluar ke jalur pasar modal yang murah tetapi memerlukan persyaratan dan kualitas pengelolaan yang super ketat .
E. Indonesia Waspada
Bagi Indonesia, krisis pangan kali ini agak unik. Pada tahun 2008 kita cukup pejal (resilience) terhadap dampak krisis pangan global, tertolong peningkatan produksi padi yang tinggi. Peningkatan itu disebabkan La Nina, mengakibatkan kemarau cukup basah, selain rangsangan harga tinggi yang menggairahkan petani untuk menanam. Hal itu menyebabkan stok pangan amat baik sehingga pemerintah bisa mengatur harga lebih leluasa.
Kini, produksi pertanian Indonesia pasti mengalami gangguan akibat El Nino. Dan krisis pangan global akan berdampak serius bagi Indonesia. Selain itu, akibat penurunan produksi, jumlah pangan yang diperdagangkan akan turun dan ini akan memicu kenaikan harga. Negara pengimpor pangan—tahun 2008, Indonesia menjadi pengimpor pangan terbesar kedua dunia dengan impor 7.729.000 ton—akan mengalami dampak serius karena pada saat bersamaan produksi domestik turun.
Kondisi itu harus disikapi dan diantisipasi cepat. Pertama, program reforma agraria, terutama reformasi aset atas tanah dari Badan Pertanahan Nasional, harus didukung penuh. Dengan rata-rata lahan pangan per kapita 359 meter persegi (bandingkan dengan Thailand 5.226 meter persegi), pendistribusian lahan untuk petani menjadi suatu keniscayaan. Tanpa hal itu, produksi pertanian kita pasti akan jalan di tempat. Kalaupun dinyatakan ada peningkatan produksi, itu hanya retorika.
Kedua, perubahan paradigma pembangunan pertanian, dari produksi ke petani (Dwi Andreas Santosa, ”Ketahanan Pangan Vs Kedaulatan Pangan”, Kompas, 13/1/2009). Amat ironis saat pemerintah menyatakan swasembada beras dan terjadi peningkatan fantastis produksi pertanian 2007-2008, kesejahteraan petani—diukur berdasar nilai tukar petani—justru merosot dari 115 (akhir 2003) menjadi 98,30 (Januari 2009). Bahkan, untuk tanaman pangan, merosot hingga 94,39 (Statistics Indonesia, BPS, 2009).
Ketiga, kelompok masyarakat yang paling menderita akibat krisis pangan adalah petani. Kantong-kantong kelaparan di Indonesia justru di wilayah-wilayah pertanian. Kini, banyak gerakan akar rumput dan swadaya masyarakat yang bersama petani membangkitkan kembali lumbung pangan. Lumbung itu dimiliki dan dikelola petani, dan akan menjadi penyelamat pada saat terjadi krisis.
Kelima, melaksanakan subsidi langsung dan asuransi pertanian yang sering menjadi wacana. Contoh terkini adalah produksi pupuk organik yang diserahkan kepada berbagai perusahaan besar dengan biaya Rp 1.500 per kg (Rp 1.000 disubsidi pemerintah). Padahal, teman-teman di jaringan petani sanggup memproduksi dengan biaya hanya Rp 500 hingga Rp 750 per kg sampai di tangan konsumen. Hal yang sama juga terjadi untuk pupuk hayati.
Keenam, perlu dihidupkan kembali Menteri Muda Urusan Pangan yang memiliki peran, fungsi, dan kewenangan mengatur dan mengendalikan pangan serta mengembalikan Bulog seperti sebelumnya. Secara umum, kondisi pangan ke depan memang sulit. Meski demikian, masih ada harapan. Semoga kita mampu menyelamatkan diri dari krisis pangan global 2009-2010.
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, maka pembangunan ketahanan pangan pada tahun 2011 perlu lebih baik melalu 2 kelompok strategis, yaitu:
a.       Memperkokoh fondasi pembangunan pertanian melalui Panca Yasa dan berbagai upaya lainnya sebagai berikut:
1.      Penyediaan/perbaikan infrastruktur distribusi pangan dalam bentuk perbaikan dan  pembangunan sarana/prasarana         jalan dan transportasi, serta pembangunan infrastruktur produksi untuk irigasi desa, jaringan irigasi tingkat usahatani, tata air mikro, jalan usaha tani, dan lainnya.
2.      Pembentukan/pengaktifan kelompoktani dan Gabungan kelompoktani (Gapoktan), melalui berbagai program strategis, seperti Desa Mandiri Pangan, Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), dan lainnya.
3.      Penanganan pembiayaan pertanian terutama untuk memobilisasi dana masyarakat di perbankan. Strategi pembiayaan tersebut dituangkan dalam bentuk pemberian Bantuan Langsung bagi Masyarakat untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM-KIP), fasilitas uang muka alsintan, fasilitas skim pelayanan pembiayaan, dan lainnya.
4.      Memperkuat ketahanan pangan masyarakat melalui pembangunan dan pengembangan lumbung pangan masyarakat yang berfungsi sebagai cadangan pangan dalam menghadapi paceklik, serta melalui tunda jual untuk memperoleh nilai tambah.
b.      Akselerasi pembangunan ketahanan pangan dengan mengoptimalkanberbagai sumberdaya dan potensi yang ada melalui koordinasi dan integrasi yang baik, dengan strategi:
1.      Melibatkan partisipasi berbagai komponen masyarakat
2.      Sinergisme seluruh potensi sumberdaya
3.      Fokus komoditas
4.      Perencanaan berdasarkan        masterplan dan roadmap
5.      Penguatan Sistem Monitoring

Penutup
Indonesia pada dasarnya masih tetap berada pada kestabilan ketersediaan pangan yang baik serta keragaman pangan yang membaik, meskipun pernah dihempas krisis yang mengenai sekelompok golongan penduduk. Arah politik pangan yang kompatibel pada persoalan kerawanan pangan pada kelompok rentan seharusnya tidak dikaburkan dengan isu ketersediaan semata apalagi isu sempit swasembada (beras), tetapi melalui strategi penanganan kelompok sasaran dengan intervensi gizi dan kesehatan, serta bukan semata intervensi ketersediaan. Demikian juga politik pertanian kita harus ditujukan pada politik pendapatan dan kesejahteraan petani, dan bukan politik komoditi yang semakin menjadi kepentingan produsen dan pasar keseluruhan, apalagi politik swasembada komoditas yang cenderung mengabaikan efisiensi dan daya saing. Kajian kemangkusan (efektifitas)  dan kesangkilan (efisiensi)  intervensi penyediaan dan stok yang dipraktekan sekarang ini perlu dilihat kembali fungsinya sebagai iron stock sejalan dengan perkembangan pertanian dan industri pangan secara nasional dan global, yang semakin tidak bisa dipisahkan dari keterkaitan food-fuel-finance dalam pasar pangan-energi-pasar modal global.
Quiz
1.      Pada undang-undang nomor berapa yang menerangkan Ketahanan ?
2.      Pada tahun berapa Indonesia pernah dilanda krisis yang bersamaan dengan kegagalan produksi pangan, sehingga melahirkan berbagai keadaan rawan pangan bahkan kurang gizi yang berat.
3.      Pada tahun berapa Indonesia digoncangkan oleh naiknya harga minyak bumi yang melampaui batas US $100,-/barel?
4.      Kelompok masyarakat apa yang paling menderita akibat krisis pangan?







Daftar Pustaka
Aly, Abdullah,  Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta : Bumi Aksara, 1998, hal 176
Andreas Santosa, Dwi , Mewaspadai Krisis Pangan 2009-201, Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB, 2010

Anonim, Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Indonesia, Jakarta : 2002,

Cormick,  Jack Mc, Atom, Energy and Machine, Creative Educational Society, New York, 1965

Dahuri, Rohmin, Pradigma baru pembangunan Indonesia berbasis Kelautan, Insitut Pertanian Bogor (IPB) , 2002

Muslimin Ibrahim, Ilmu Alamiah Dasar, PT. Graja Findo Persada, Jakarta : 2002


Hidayati, Nur, Diversifikasi Energi, Perlu langkah Kongkret, 2005, diakses di www.kompas.co.id, pada tanggal 27 Mei 2010  

Nugroho CSP, Hutan pinus dan Hasil air, BP2TPDS, IBB, Surakarta, 2008

Negara, Suria, Pengelolaan Sumber Daya Alam,  SPS-Institut Pertanian Bogor, 1977

Suntoro, Pengelolaan Tanah dan Air yang Berkelanjutan, 2005, PPLH, UNS,  Disampaikan pada Seminar Nasional pengelolaan lahan kritis, UNS Surakarta.

Yasin, Maskori, Yasin, Ilmu Alamiah Dasar, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1985, hal. 156


[1] Banyak orang yang mengartikan Krisis energi dengan berbagai definisi. Namun yang paling populer adalah Krisis energi adalah kekurangan (atau peningkatan harga) dalam persediaan sumber daya energi ke ekonomi. Krisis ini biasanya menunjuk ke kekurangan minyak bumi, listrik, atau sumber daya alam lainnya. Krisis ini memiliki akibat pada eknomi, dengan banyak resesi disebabkan oleh krisis energi dalam beberapa bentuk. Terutama, kenaikan biaya produksi listrik, yang menyebabkan naiknya biaya produksi. Bagi para konsumen, harga BBM untuk mobil dan kendaraan lainnya meningkat, menyebabkan pengurangan keyakinan dan pengeluaran konsumen. Lihat, makalah Dwi Andreas Santosa, Mewaspadai Krisis Pangan 2009-201,  Ketua Program Studi S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB, 2010
[2] Anonim, Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Indonesia, Jakarta : 2002, hal. 176
[3] Cormick,  Jack Mc, Atom, Energy and Machine, Creative Educational Society, New York, 1965
[4] Nugroho CSP, Hutan pinus dan Hasil air, BP2TPDS, IBB, Surakarta, 2008
[5] Nur Hidayati, Diversifikasi Energi, Perlu langkah Kongkret, 2005, diakses di www.kompas.co.id, pada tanggal 27 Mei 2010  
[6] Suntoro, Pengelolaan Tanah dan Air yang Berkelanjutan, 2005, PPLH, UNS,  Disampaikan pada Seminar Nasional pengelolaan lahan kritis, UNS Surakarta.
[7] Suria Negara, Pengelolaan Sumber Daya Alam,  SPS-Institut Pertanian Bogor, 1977
[8] Rohmin Dahuri, Pradigma baru pembangunan Indonesia berbasis Kelautan, Insitut Pertanian Bogor (IPB) , 2002
[9] Muslimin Ibrahim, Ilmu Alamiah Dasar, PT. Graja Findo Persada, Jakarta : 2002, hal, 161
[10] Abdullah Aly, Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta : Bumi Aksara, 1998, hal 176
[11] Maskori Yasin, Ilmu Alamiah Dasar, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1985, hal. 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar