Abstrak
Saat ini dunia dihadapkan pada dua krisis besar yaitu krisis pangan
dan krisis energi. Krisis pangan dipicu oleh adanya fenomena pemanasan global
dan tidak meratanya distribusi. Sedangkan krisis energi dipicu oleh kian
menipisnya cadangan energi yang berasal dari bahan bakar fosil (migas dan
batubara). Untuk mengatasi krisis terebut, solusi yang bisa dilakukan adalah
dengan mengembangkan diversifikasi, baik bahan pangan maupun bahan energi.
Saat ini tanpa kita sadari, sedang berkecamuk perang dahsyat antara
energi dan pangan. Krisis energi dan pangan terus menghantui dunia. Bagaimana
tidak, banyak orang pintar yang dengan kreatifnya mengatasi krisis energi
dengan membuat sumber-sumber energi alternatif yang berbahan baku dari produk
pangan. Seperti energi dari kedelai, ubi, singkong, gandum.
Sumber pangan pokok manusia di seantero jagad itu dialihfungsikan
menjadi sumber energi alternatif. Dampaknya, tentu saja rawan krisis pangan.
Harga pangan melambung akibat kelangkaan.
Satu contoh di Indonesia, Kedelai misalnya, tembus hingga Rp 7.500/kg
dari Rp 3.450/kg. Maka jangan heran kalau bangsa ini justru bangga disebut
“bangsa tempe” atau dijuluki “bermental tempe”. Karena tempe saat ini termasuk
barang mewah. Apalagi bahan bakunya pun impor dari negeri Paman Sam. Dan
mahalnya harga kedelai terjadi akibat pengalihan minyak mentah dengan biofuel
oleh AS.
Di sisi lain, krisis energi memicu kelangkaan bahan bakar yang
banyak dibutuhkan oleh industri pangan. Petani butuh solar untuk traktornya.
Nelayan butuh bensin untuk melaut. Pabrik pengolahan makanan butuh ‘pelicin’
agar mesinnya bekerja. Kalau BBM kemudian langka dan mahal, maka produksi
pangan pun terseok-seok hingga mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dan Organisasi
Pangan Dunia (FAO) memprediksikan, satu dasawarsa ke depan (2007-2016), bakal
terjadi perubahan struktur dasar perdagangan komoditas pertanian secara
permanen. Perubahan struktur ini akan mengimbas pada pergeseran pola konsumsi
produk pertanian dunia.
PEMBAHASAN
A.
Kondisi Krisis
Energi dan Ketahanan Pangan
Semua orang tahu, sumber energi minyak dan gas (migas) yang selama
ini digunakan semakin lama semakin habis. Cadangan migas yang terus menipis,
seiring dengan konsumsinya yang semakin meningkat menimbulkan kekhawatiran yang
serius. Belum lagi efek emisi karbon yang dihasilkannya diduga ikut menaikkan
suhu bumi, dan suatu saat mungkin akan menghilangkan daratan yang ada di bumi,
tentu bersama kita yang menghuninya.
Karenanya untuk mengatasi krisis energi[1]
ini, orang ramai-ramai berusaha mencari energi alternatif yang selain bisa
diperbarui juga lebih ramah lingkungan. Maka jangan heran, jika kemudian
berbagai negara seakan berlomba menunjukkan hasil inovasi energi terbarunya.
Sebagai contoh, biogasoline yang merupakan campuran 10% bioethanol
dan 90% gasoline telah digunakan luas di Amerika Serikat. Begitu pula di
Brazil, Finlandia, Jepang, Thailand, dan negara-negara lainnya (Sumber:
Pertamina.com).
Di Indonesia, biofuel juga telah digunakan sejak tahun 2006.
Pertamina dengan kerja kerasnya berhasil meluncurkan produk BioPremium
(campuran 95% premium dan 5% bioethanol), Biosolar (campuran 5% Fatty
Acid Methyl Ester dan 95% solar reguler), dan BioPertamax.
Di satu sisi, biofuel memiliki nilai positif, seperti krisis
energi bisa diminimalkan dan kesehatan lingkungan bisa selalu dipertahankan.
Namun jika booming produksi biofuel ini tidak disikapi dengan
bijak, maka bisa jadi akan menstimulasi terjadinya krisis pangan di masa depan,
dan ini adalah ancaman serius bagi manusia.
Kalau kita perhatikan, sumber bahan bakar terbarukan yang digunakan
sebagai campuran bahan bakar reguler seperti bioethanol pada biogasoline,
diolah dari bahan baku pangan yang selama ini juga dikonsumsi manusia.
Perubahan iklim juga menggerogoti
ketahanan pangan kita sehingga sudah sewajarnyalah kita sesuaikan perkembangan
pertanian dengan perubahan iklim. Musim tanam, bibit tanaman, dan pola
pertanian perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perubahan iklim[2].
Sumber minyak bumi cenderung menipis, sedangkan persediaan batu
bara melimpah sehingga kita cenderung memanfaatkan batu bara untuk pengembangan
energi. Namun, dengan semakin gencarnya persyaratan pengendalian CO2e, kita
perlu mengembangkan energi terbarukan sebagai alternatif[3].
Ini memerlukan kebijakan harga yang lebih berpihak pada energi
terbarukan yang melimpah di Tanah Air kita, seperti sumber geotermal, tenaga
mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, tenaga gelombang, tenaga biomassa, demi
ketahanan energi kita di masa depan.
Kita perlu selamatkan air untuk memberlanjutkan sekuritas air tawar
kita. Ini memerlukan secara sungguh-sungguh dukungan politik dan
ketatalaksanaan kepemerintahan pusat-daerah yang efektif dalam menerapkan
rencana tata ruang menyelamatkan daerah aliran sungai, mencegah deforestasi,
memberantas illegal logging dan pembakaran hutan, demi ketahanan
sustainabilitas sumber daya alam tropis kita.
Di atas segala-galanya kita perlu menegakkan ketahanan penduduk
kita, terutama penduduk miskin di daerah tertinggal, agar mampu berproduksi
menghasilkan kebutuhan pokok manusia, seperti pangan, kesehatan, dan
pendidikan. Tidak boleh terulang peristiwa kelaparan penduduk Yahukimo, Papua,
karena kegagalan pertanian. Harus ada ”bantal ketahanan pangan” yang
menyelamatkannya[4].
Sebagai negara agraris Indonesia
memang tumbuh dan berkembang dari tumbuh-kembang sektor pertanian. Pertanian
tidak pernah bisa dilepaskan dari masalah pangan, karena tugas utama pertanian
adalah untuk menyediakan pangan bagi penduduk suatu negara. Sejak Indonesia
merdeka sampai saat ini, gravitas politik pangan Indonesia selalu berat menuju
politik beras. Persoalan ini pada awalnya adalah sangat beralasan karena beras
pernah menempati sepertiga belanja rumah tangga buruh di Jakarta pada akhir
tahun limapuluhan (Indek Biaya Hidup disingkat IBH Jakarta), dan menempati
hampir seperlima PDB Indonesia pada akhir tahun 1960an.
Indonesia pernah dilanda krisis pada tahun 1997-1998 yang bersamaan
dengan kegagalan produksi pangan, sehingga melahirkan berbagai keadaan rawan
pangan bahkan kurang gizi yang berat. Harga pangan yang melonjak, tetapi lebih
diwarnai oleh krisis nilai tukar, ketimbang kegoncangan penawaran pasar dunia.
Pelajaran yang menarik adalah kemiskinan yang parah dan meluas pada saat itu
menjadi kunci utama rawan pangan, namun sifatnya sangat transitory (World Bank
2003). Krisis sendiri terjadi pada saat ketersediaan pangan Indonesia, telah
melewati satu dasawarsa namun kebanyakan orang Indonesia urusan pangan belum selesai[5].
Pada awal tahun 2008 ini kita digoncangkan oleh naiknya harga
minyak bumi yang melampaui batas US $100,-/barel yang mendorong ekspansi
besar-besaran produksi bio energi. Hal ini telah menimbulkan ketakutan akan
semakin sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan, karena adanya persaingan
penggunaan biji-bijian untuk energi. Hal yang cukup menarik dari perkembangan
terakhir ini adalah justru kenaikan harga beras dan gula pasir di pasar dunia
sementara di di dalam negeri kenaikannya normal saja sekalipun mempunyai
kandungan politik tinggi di negeri kita. Di sisi lain harga bahan pangan
penghasil lemak dan protein menjadi sangat bergejolak. Hingga saat ini
belum ada yang berani menjamin bahwa krisis finansial global telah berakhir dan
krisis energi tidak akan muncul lagi, bahkan kedua faktor tersebut menjadi
bagian dari resiko yang setiap saat dapat muncul kembali.
B. Ketahanan
Pangan Indonesia: Sepuluh Tahun Pasca Krisis
Ketahanan Pangan dalam perspektif Undang-Undang No. 7 tahun 1996
tentang Pangan, mempunyai beberapa dimensi penting yakni, Ketersediaan, Mutu
dan Keamanan Pangan dan pada ujungnya adalah Akses terhadap pangan sehingga
setiap rumah tangga terjamin. Perjalanan selama sepuluh tahun terakhir ini,
kerangka cara pandang terhadap ketahanan pangan sudah ada landasan baku UU
Pangan. Di samping itu perjalanan satu dasawarsa ini adalah Indonesia yang
terkena krisis dan kemudian kembali terkena krisis. Dasawarsa ini juga menandai
Indonesia yang sudah pernah merasa bebas dari kungkungan kegagalan memenuhi
kebutuhan beras penduduk dengan swasembada beras pada tahun 1984 dan kesulitan
untuk mempertahankan dalam arti prestasi fisik, konsepsi swasembada dan teknis
operasionalnya[6].
Tercatat sampai dengan menjelang krisis Indonesia juga pernah mengimpor kembali
kebutuhan beras (Pemerintah), setelah setahun sebelumnya mengekspor karena stok
berlimpah.
Salah satu indikator penting untuk melihat kondisi ketahanan pangan
suatu negara secara agregat adalah melalui angka rata-rata ketersediaan pangan.
Mengingat keragaman pangan adalah merupakan bagian penting dari mutu pangan
serta keragaman budaya dan status sosial ekonomi rumah tanggga atau masyarakat,
maka terjadi keanekaan pula dalam konsumsi bahan makanan. Oleh karena itu angka
ketersediaan biasanya dinyatakan dalam bentuk ketersediaan kalori, protein,
lemak dan unsur lain. Namun dalam analisis ini hanya akan dilihat dari
ketersediaan kalori dan protein. Angka ketersediaan yang dianggap memenuhi
kecukupan bagi kehidupan yang sehat ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi
yang terakhir (VIII) dilaksanakan pada tahun 2004. Untuk ketersediaan kalori
ditetapkan angka kecukupan sebesar 2.000 kalori/kapita/hari pada tingkat
konsumsi atau 2.200kal/kapita/hari pada tingkat ketersediaan. Sementara untuk
protein ditetapkan sebesar 55 gram/kapita. Angka ketersediaan rata-rata untuk
berbagai sumber karbohidrat, protein, lemak dan vitamin dan mineral
menggambarkan bahwa pada tingkat nasional maupun daerah dalam kecukupan.
Dilihat dari angka ketersediaan kalori rata-rata sebenarnya tingkat
kecukupan pangan di Indonesia masih cukup bagus. Pada dasawarsa 80an sampai
dengan pertengahan 90an ketersediaan kalori sangat tinggi karena tingginya
tingkat konsumsi beras, meskipun protein terutama hewani masih belum cukup
ketika itu[7].
Gambaran pada periode 2005-2007 menunjukkan perkembangan yang bagus di mana
angka ketersediaan kalori masih cukup bagus dengan ketersediaan protein hewani
yang cukup baik nabati maupun hewani (Tabel 1). Angka tersebut pada dasarnya
memberikan pelajaran baru, bahwa kondisi rawan pangan dalam arti kurang gizi
(kalori maupun protein) muncul karena faktor fundamental dari ”food insecurity”
yaitu kemiskinan (akses) bukan faktor kekurangan pangan.
C. EKONOMI
DUALISTIK DAN KETAHANAN PANGAN
Meskipun pangan sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap
hari dalam kenyataannya pasar produk pangan dan sebagian bahan pangan
bergerak melalui dua jalur pasar dan pola permintaan yang berbeda, yakni pasar
tradisional dan sistem distribusi modern. Sebenarnya hal ini tidak terlepas
dari ciri ekonomi dualistik Indonesia yang dikemukakan Boeke pada abad 19
(Mubyarto 2000). Pada sisi penyediaan bahan pangan pokok beras adalah produk
yang penyediaan primernya (padi) menggambarkan corak produksi skala kecil yang
melibatkan pengerahan kegiatan produksi masal yang dikomandoi secara pasti oleh
perguliran iklim, kecuali sebagian kecil daerah irigasi teknis. Petani tidak
berdaya karena alasan likuiditas hingga alasan teknologi yang diperlukan untuk
mengatasi faktor alam (cuaca) bukan hanya pada saat tanam tapi saat panen.
Kemajuan industri pengolahan ini tidak terlepas dari revolusi hijau yang
dimulai akhir 60an dengan pengenalan alat mesin pertanian[8].
Persoalan corak ekonomi dualistik di dalam pertanian (produksi
pangan) sendiri telah membawa perbedaan perlakuan dalam banyak hal yang
dilakukan oleh Pemerintah di bidang fiskal dan perizinan. Akhir-akhir ini
masalah pupuk (bersubsidi maupun tidak bersubsidi) pengenaan PPn atas produk
hasil industri pertanian, hingga politik anggaran dan pembinaannyapun
menimbulkan kesimpangsiuran. Apalagi pendekatan pembinaan kita menganut target
obyek (komoditi) bukan subyek (petani) nya.
Pada industri penghasil protein dan lemak keadaannya sudah jauh
lebih jelas lagi, bahwa sektor modern padat modal, baik lokal, nasional maupun
multi nasional menentukan arah penyediaan bahan pangan. Masalah kita pada saat
ini bukan lagi masalah kecukupan ketersediaan, dalam arti pasar dapat
menyelesaikan untuk pemenuhan kecukupan ketersediaan tersebut, tetapi mengarah
pada mutu gizi yang memerlukan produksi protein, lemak, vitamin dan mineral
yang dibutuhkan secara seimbang. Untuk dapat memikirkan suatu politik pangan
yang kompatibel dengan tujuan peningkatan mutu gizi pangan dan kesejahteraan
petani, faktor struktur pelaku dan struktur pasar masing-masing industri
menjadi semakin penting.
Dilihat dari tren pola konsumsi sumber karbohidrat terutama beras
yang semakin efisien dengan menyempitnya diskrepansi antara angka ketersediaan
dan angka konsumsi menggambarkan bahwa pola konsumsi masyarakat sudah semakin
menyesuaikan dengan pola hidup sehat[9].
Tren jangka panjang tekanan beras, kebutuhan jagung untuk mendukung
produksi daging, susu dan telur akan meningkat pesat pada saat tingkat
pendapatan/kapita berada pada US $ 1.600 – US$ 2.000. Model untuk melihat
kebutuhan pangan dari perspektif pemenuhan gizi yang seimbang juga dapat
dijadikan acuan perencanaan dan menempatkan kerawanan pangan dalam kontek
invidu rumah tangga bukan dalam bilangan agregasi akan mampu mengenali peta
persoalan pangan dan segala ke-rawanan-nya menjadi semakin mudah. Cara inilah
yang belum banyak dimanfaatkan untuk mengembangkan kebijakan penyediaan.
D. Kompetisi
Pangan-Energi, Kaitan Pasar Keuangan
Komoditi pangan sampai dengan saat ini masih dilihat dalam konteks
komoditi strategis yang Pemerintah selalu perlu hadir untuk menjamin kondisi
ketahanan pangan. Sejak akhir tahun lalu dengan diselenggarakanya Konferensi Dunia tentang Perubahan Iklim, muncul
kesadaran baru akan pentingnya sumber energi alternatif yang ramah lingkungan[10].
Semua ini dilakukan untuk mengontrol polusi yang menimbulkan pemanasan global
sehingga menghindarkan dunia dari keruntuhan. Dengan berkembangnya industri
bioenergi di banyak negara maju dan berkembang, dengan indikasi permintaan
produk pertanian sebagai bahan baku bio-etanol dan bio-diesel, maka muncul
persaingan penggunaan pangan untuk pangan dan energi. Bahkan ketika harga
pangan sempat naik secara tajam menimbulkan kekhawatiran akan kelangsungan
pemenuhan pangan, terutama bagi masyarakat miskin di negara berkembang.
Pangan sekarang ini menyatu dengan pasar energi, secara lebih
spesifik minyak bumi. Karena minyak bumi bukan saja menjadi bahan bakar bagi
mesin-mesin dan alat pertanian, tetapi juga bahan baku pembuatan bio-diesel dan
bio-etanol, sehingga perkembangan harga minyak bumi akan menyeret harga
produk-produk pertanian secara langsung[11].
Fluktuasi harga minyak akan secara lebih langsung mempengaruhi harga produk
pertanian (bahan pangan), terutama minyak makan dan gula yang langung menjadi
pengganti solar dan bensin. Terkait dengan komoditas pangan yang lain, karena
sensitifitas pada dua kelompok bahan pangan penghasil minyak/lemak dan gula ini
juga mempunyai kaitan langsung dengan usaha peternakan dan perikanan,
sudah barang tentu berpengaruh terhadap penyediaan protein yang langsung
mempengruhi mutu pangan penduduk. Dengan demikian sangat jelas mata rantai
keterkaitan ini menjadi sangat panjang dan semakin sensitif terhadap pemenuhan
kecukupan ketersediaan pangan dalam bentuk jumlah dan mutunya.
Di sisi lain usaha pertanian skala besar seperti perkebunan dan
peternakan sudah mulai masuk ke dalam pasar modal sebagai sumber pembiayaan
jangka panjang mereka, sehingga dengan sendirinya akan sangat dipengaruhi
oleh keinginan pemegang sahamnya. Mereka akan mengarahkan strategi bisnisnya
untuk dapat menghasilkan keuntungan dan dividen yang besar bagi para pemilik
modalnya. Ini tidak terkecuali untuk status kepemilikan, negara atau swasta dan
asing atau nasional, karena ada mekanisme lain yang mempengaruhi keputusan
produksi. Sehingga tarikan ini menjadikan usaha pertanian (perkebunan dan
peternakan) juga semakin dipengaruhi oleh pasar keuangan (perbankan dan pasar
modal) dan semakin lama akan semakin dalam dengan semakin berkembangnya
agro-industri di tanah air kita. Bahkan untuk usaha menengah-kecil sekalipun
dianjurkan memanfaatkan pasar modal sebagai instrumen pencarian dana pembiayaan
investasi alternatif yang murah bagi pengembangan usahanya. Hal itu dikarenakan
masa mengejar modal atau sering dinamakan Capital Chasm, merupakan tahap
yang harus dilalui oleh setiap industri dalam membiayai pengembangan
usahanya apakah memilih pembiayaan perbankan yang mahal
atau keluar ke jalur pasar modal yang murah tetapi memerlukan persyaratan
dan kualitas pengelolaan yang super ketat .
E. Indonesia Waspada
Bagi Indonesia, krisis pangan kali ini agak unik. Pada tahun 2008
kita cukup pejal (resilience) terhadap dampak krisis pangan global, tertolong
peningkatan produksi padi yang tinggi. Peningkatan itu disebabkan La Nina,
mengakibatkan kemarau cukup basah, selain rangsangan harga tinggi yang
menggairahkan petani untuk menanam. Hal itu menyebabkan stok pangan amat baik
sehingga pemerintah bisa mengatur harga lebih leluasa.
Kini, produksi pertanian Indonesia pasti mengalami gangguan akibat
El Nino. Dan krisis pangan global akan berdampak serius bagi Indonesia. Selain
itu, akibat penurunan produksi, jumlah pangan yang diperdagangkan akan turun
dan ini akan memicu kenaikan harga. Negara pengimpor pangan—tahun 2008,
Indonesia menjadi pengimpor pangan terbesar kedua dunia dengan impor 7.729.000
ton—akan mengalami dampak serius karena pada saat bersamaan produksi domestik
turun.
Kondisi itu harus disikapi dan diantisipasi cepat. Pertama, program
reforma agraria, terutama reformasi aset atas tanah dari Badan Pertanahan Nasional, harus
didukung penuh. Dengan rata-rata lahan pangan per kapita 359 meter persegi
(bandingkan dengan Thailand 5.226 meter persegi), pendistribusian lahan untuk
petani menjadi suatu keniscayaan. Tanpa
hal itu, produksi pertanian kita pasti akan jalan di tempat. Kalaupun
dinyatakan ada peningkatan produksi, itu hanya retorika.
Kedua, perubahan paradigma pembangunan
pertanian, dari produksi ke petani (Dwi Andreas Santosa, ”Ketahanan Pangan Vs Kedaulatan
Pangan”, Kompas, 13/1/2009). Amat ironis saat pemerintah menyatakan swasembada
beras dan terjadi peningkatan fantastis produksi pertanian 2007-2008, kesejahteraan
petani—diukur berdasar nilai tukar petani—justru merosot dari 115 (akhir 2003)
menjadi 98,30 (Januari 2009). Bahkan, untuk tanaman pangan, merosot hingga
94,39 (Statistics Indonesia, BPS, 2009).
Ketiga, kelompok masyarakat yang paling menderita akibat krisis
pangan adalah petani. Kantong-kantong kelaparan di Indonesia justru di
wilayah-wilayah pertanian. Kini, banyak gerakan akar rumput dan swadaya
masyarakat yang bersama petani membangkitkan kembali lumbung pangan. Lumbung
itu dimiliki dan dikelola petani, dan akan menjadi penyelamat pada saat terjadi
krisis.
Kelima, melaksanakan subsidi langsung dan asuransi pertanian yang
sering menjadi wacana. Contoh terkini adalah produksi pupuk
organik yang diserahkan kepada berbagai perusahaan besar dengan
biaya Rp 1.500 per kg (Rp 1.000 disubsidi pemerintah). Padahal, teman-teman di
jaringan petani sanggup memproduksi dengan biaya hanya Rp 500 hingga Rp 750 per
kg sampai di tangan konsumen. Hal yang sama juga terjadi untuk pupuk hayati.
Keenam, perlu dihidupkan kembali Menteri Muda Urusan Pangan yang
memiliki peran, fungsi, dan kewenangan mengatur dan mengendalikan pangan serta
mengembalikan Bulog seperti sebelumnya. Secara umum, kondisi pangan ke depan
memang sulit. Meski demikian, masih ada harapan. Semoga kita
mampu menyelamatkan diri dari krisis pangan global 2009-2010.
Dalam menghadapi berbagai tantangan
tersebut, maka pembangunan ketahanan pangan pada tahun 2011 perlu lebih baik
melalu 2 kelompok strategis, yaitu:
a.
Memperkokoh
fondasi pembangunan pertanian melalui Panca Yasa dan berbagai upaya lainnya
sebagai berikut:
1.
Penyediaan/perbaikan
infrastruktur distribusi pangan dalam bentuk perbaikan dan pembangunan sarana/prasarana jalan dan transportasi, serta pembangunan infrastruktur produksi untuk
irigasi desa, jaringan irigasi tingkat usahatani, tata air mikro, jalan usaha
tani, dan lainnya.
2.
Pembentukan/pengaktifan
kelompoktani dan Gabungan kelompoktani (Gapoktan), melalui berbagai program
strategis, seperti Desa Mandiri Pangan, Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
(PUAP), dan lainnya.
3.
Penanganan
pembiayaan pertanian terutama untuk memobilisasi dana masyarakat di perbankan.
Strategi pembiayaan tersebut dituangkan dalam bentuk pemberian Bantuan Langsung
bagi Masyarakat untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM-KIP), fasilitas uang
muka alsintan, fasilitas skim pelayanan pembiayaan, dan lainnya.
4.
Memperkuat
ketahanan pangan masyarakat melalui pembangunan dan pengembangan lumbung pangan
masyarakat yang berfungsi sebagai cadangan pangan dalam menghadapi paceklik,
serta melalui tunda jual untuk memperoleh nilai tambah.
b.
Akselerasi
pembangunan ketahanan pangan dengan mengoptimalkanberbagai sumberdaya dan
potensi yang ada melalui koordinasi dan integrasi yang baik, dengan strategi:
1.
Melibatkan
partisipasi berbagai komponen masyarakat
2.
Sinergisme
seluruh potensi sumberdaya
3.
Fokus
komoditas
4.
Perencanaan
berdasarkan masterplan dan roadmap
5.
Penguatan
Sistem Monitoring
Penutup
Indonesia pada dasarnya masih tetap berada pada kestabilan
ketersediaan pangan yang baik serta keragaman pangan yang membaik, meskipun
pernah dihempas krisis yang mengenai sekelompok golongan penduduk. Arah politik
pangan yang kompatibel pada persoalan kerawanan pangan pada kelompok rentan
seharusnya tidak dikaburkan dengan isu ketersediaan semata apalagi isu sempit
swasembada (beras), tetapi melalui strategi penanganan kelompok sasaran dengan
intervensi gizi dan kesehatan, serta bukan semata intervensi ketersediaan.
Demikian juga politik pertanian kita harus ditujukan pada politik pendapatan
dan kesejahteraan petani, dan bukan politik komoditi yang semakin menjadi
kepentingan produsen dan pasar keseluruhan, apalagi politik swasembada
komoditas yang cenderung mengabaikan efisiensi dan daya saing. Kajian
kemangkusan (efektifitas) dan kesangkilan (efisiensi) intervensi
penyediaan dan stok yang dipraktekan sekarang ini perlu dilihat kembali
fungsinya sebagai iron stock sejalan dengan perkembangan pertanian dan
industri pangan secara nasional dan global, yang semakin tidak bisa dipisahkan
dari keterkaitan food-fuel-finance dalam pasar pangan-energi-pasar modal
global.
Quiz
1.
Pada
undang-undang nomor berapa yang menerangkan Ketahanan ?
2.
Pada tahun
berapa Indonesia pernah dilanda krisis yang bersamaan dengan kegagalan produksi
pangan, sehingga melahirkan berbagai keadaan rawan pangan bahkan kurang gizi
yang berat.
3.
Pada tahun
berapa Indonesia digoncangkan oleh naiknya harga minyak bumi yang melampaui
batas US $100,-/barel?
4.
Kelompok
masyarakat apa yang paling menderita akibat krisis pangan?
Daftar Pustaka
Aly, Abdullah,
Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta :
Bumi Aksara, 1998, hal 176
Andreas Santosa, Dwi , Mewaspadai
Krisis Pangan 2009-201, Bioteknologi Tanah dan
Lingkungan IPB, 2010
Anonim, Revitalisasi
Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan Indonesia, Jakarta : 2002,
Cormick, Jack Mc, Atom, Energy
and Machine, Creative Educational Society, New York, 1965
Dahuri, Rohmin, Pradigma
baru pembangunan Indonesia berbasis Kelautan, Insitut Pertanian Bogor (IPB)
, 2002
Muslimin Ibrahim, Ilmu
Alamiah Dasar, PT. Graja Findo Persada, Jakarta : 2002
Hidayati, Nur, Diversifikasi
Energi, Perlu langkah Kongkret, 2005, diakses di www.kompas.co.id, pada tanggal 27 Mei 2010
Nugroho CSP, Hutan pinus dan
Hasil air, BP2TPDS, IBB, Surakarta, 2008
Negara, Suria, Pengelolaan Sumber Daya Alam, SPS-Institut Pertanian
Bogor, 1977
Suntoro, Pengelolaan
Tanah dan Air yang Berkelanjutan, 2005, PPLH, UNS, Disampaikan pada Seminar Nasional pengelolaan
lahan kritis, UNS Surakarta.
Yasin, Maskori, Yasin, Ilmu Alamiah Dasar, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1985,
hal. 156
[1] Banyak orang yang
mengartikan Krisis energi dengan berbagai definisi. Namun yang paling populer
adalah Krisis energi adalah kekurangan (atau peningkatan harga) dalam
persediaan sumber daya energi
ke ekonomi. Krisis ini
biasanya menunjuk ke kekurangan minyak bumi, listrik, atau sumber daya alam lainnya. Krisis ini memiliki
akibat pada eknomi, dengan banyak resesi
disebabkan oleh krisis energi dalam beberapa bentuk. Terutama, kenaikan biaya
produksi listrik, yang menyebabkan naiknya biaya produksi. Bagi para konsumen,
harga BBM untuk mobil dan kendaraan
lainnya meningkat, menyebabkan pengurangan keyakinan dan pengeluaran konsumen.
Lihat, makalah Dwi Andreas Santosa, Mewaspadai Krisis Pangan 2009-201, Ketua Program Studi S-2 Bioteknologi Tanah
dan Lingkungan IPB, 2010
[4] Nugroho CSP, Hutan
pinus dan Hasil air, BP2TPDS, IBB, Surakarta, 2008
[5] Nur Hidayati,
Diversifikasi Energi, Perlu langkah Kongkret, 2005, diakses di www.kompas.co.id, pada tanggal 27 Mei 2010
[6] Suntoro, Pengelolaan
Tanah dan Air yang Berkelanjutan, 2005, PPLH, UNS, Disampaikan pada Seminar Nasional pengelolaan
lahan kritis, UNS Surakarta.
[8] Rohmin
Dahuri, Pradigma baru pembangunan Indonesia berbasis Kelautan, Insitut
Pertanian Bogor (IPB) , 2002
[11] Maskori
Yasin, Ilmu Alamiah Dasar, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1985, hal. 156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar